Space Iklan
Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia pernah mengungkapkan pandangan bahwa televisi dan internet tidak akan membunuh media cetak. Pandangan ini menjadi benang merah pada Seminar Media Industry Outlook 2010 sebagaimana diberitakan Kompas, 20 Januari 2010.
Hanya berselang lima tahun sejak pernyataan itu diungkapkan, sudah beberapa media cetak yang akhirnya gulung tikar.
Memang belum bisa dipastikan, apakah internet menjadi penyebab utama banyaknya media cetak yang tutup atau krisis finansial yang menghantam media cetak dari segala penjuru. Bisa jadi kedua-duanya, sehingga tidak ada jalan lain untuk mengakhiri penderitaan media cetak bersangkutan kecuali ditutup.
Per 31 Oktober 2015, satu lagi media cetak yang harus tutup, diusia yang masih belia. Ialah Harian Bola yang khusus mengusung konsep olahraga utamanya sepakbola. Harian Bola menyusul rekan-rekannya yang lain, yang tutup lebih awal, misalnya Soccer yang tutup di 2014.
Selain dua media cetak diatas, beberapa anak usaha Kompas Gramedia juga tercatat ada yang ditutup, seperti Majalah Fortune, Chip dan Jeep. Beberapa media cetak yang berbasis mingguan dan bulanan juga tak terhitung jumlahnya yang harus terseok-seok hingga akhirnya ditutup dalam rentang waktu 2010 hingga 2015.
Harian Jurnal Nasional atau Jurnas juga mengalami masalah tragis. Per 1 November 2014 lalu, media ini juga harus tutup usia dan berubah seutuhnya menjadi media online. Hampir sebagian besar karyawan media cetak ini diberhentikan oleh pemilik modal yang tidak sanggup lagi bertahan ditengah gempuran media online.
Di Sulawesi Selatan, juga tercatat ada dua media cetak yang harus tutup di 2015. Keduanya masih berusia sangat muda, yakni Koran Celebes dan Koran Inilah Sulsel. Harian Cakrawala juga pernah ditutup oleh pemilik modalnya karena krisis finansial hingga akhirnya terbit kembali dengan nama The New Cakrawala. Media ini pun masih harus berjuang untuk hidup.
Sejumlah media cetak harian di Sulawesi Selatan juga terus mengurangi jumlah halaman per-edisinya, bahkan ada media yang dulunya terbit nonstop setiap hari, harus mengurangi penerbitan di hari Minggu. Sekaliber Koran Tempo pun telah menghilangkan edisi minggunya, entah untuk efesiensi atau memang lagi penghematan.
Tantangan media cetak saat ini memang sangat berat. Memang beberapa pengiklan masih tetap menggunakan media cetak untuk berpromosi, namun tidak sedikit pula yang perlahan-lahan menarik diri dan mengalihkan iklannya ke media online. Selain penyebarannya yang luas, target sasaran juga bisa dipilih oleh pengiklan.
Strategi marketing media cetak juga kadang tidak terukur secara baik oleh calon pengiklan, karena data yang disampaikan kadang dimanipulasi untuk mencapai kesepakatan harga yang tinggi. Sementara media online, pengiklan bisa langsung mengecek kebenaran datanya. Sangat minim kemungkinan untuk bisa memanipulasi data.
Hal inilah yang menjadi pembeda media cetak dan media online, sehingga banyak media cetak yang tidak mampu berinovasi harus pasra tergerus perkembangan.
Salah satu negara yang paling menonjol ketimpangan medianya adalah Amerika. Media cetak di negara ini dengan massifnya dihancurkan oleh media online, bahkan The New York Times pun harus mengakui kehebatan media online. Media cetak dengan oplah terbesar inipun harus rela mengakui bahwa oplahnya saat ini tengah berkurang dengan sangat drastis.
Bahkan untuk bertahan hidup, perusahaan ini menyewakan sebagian ruang di gedung kantor pusatnya di New York guna membantu biaya operasional. Koran ini pun akhirnya harus ikut tumbuh bersama media online dengan menerbitkan berita disaluran online.
Jika The New York Times masih bertahan dengan edisi cetaknya, sejumlah media tua di Amerika sama sekali tutup secara utuh dan beralih beroperasi secara online murni, diantaranya:
Data KPCB (Kleiner Perkins Caufield Byers) di 2014 lalu menunjukkan, penurunan jumlah pengiklan yang menggunakan media cetak di Amerika memang mengkhawatirkan. Sebaliknya, televisi tetap menguasai dan disusul media online yang trafiknya terus mengalami pertumbuhan.
Ini menunjukkan, media cetak memang mengalami masalah besar. Utamanya di Amerika. Tapi tidak akan terlalu lama, hal ini akan juga menerpa Indonesia. Apalagi, pemerintah Indonesia di tahun 2015 akan menerbangkan balon internet di wilayah Indonesia timur berkat kerjasamanya dengan Google. Teknologi ini akan menambah jumlah pengguna internet di Indonesia.
Jika selama ini internet hanya massif di gunakan di Pulau Jawa dan Sumatra, maka tahun depan, keberimbangan penggunaan akan terlihat jelas. Itu artinya, pangsa pasar online di Indonesia timur akan besar dan menjadi tantangan media cetak. Saat ini media cetak di Indonesia Timur masih berjaya, apalagi di Makassar.
Media cetak memang tidak akan mati, tapi tantangan kedepannya akan semakin berat. Apalagi, jumlah pembaca fanatik media cetak terus mengalami penurunan, karena dominasi usia remaja. Remaja saat ini seperti tidak mengenal lagi media cetak. Smartphone telah mengambil alih seluruh fungsi informasi.
(http://bicara.id)
Hanya berselang lima tahun sejak pernyataan itu diungkapkan, sudah beberapa media cetak yang akhirnya gulung tikar.
Memang belum bisa dipastikan, apakah internet menjadi penyebab utama banyaknya media cetak yang tutup atau krisis finansial yang menghantam media cetak dari segala penjuru. Bisa jadi kedua-duanya, sehingga tidak ada jalan lain untuk mengakhiri penderitaan media cetak bersangkutan kecuali ditutup.
Per 31 Oktober 2015, satu lagi media cetak yang harus tutup, diusia yang masih belia. Ialah Harian Bola yang khusus mengusung konsep olahraga utamanya sepakbola. Harian Bola menyusul rekan-rekannya yang lain, yang tutup lebih awal, misalnya Soccer yang tutup di 2014.
Foto Merdeka.com
Harian Bola sebenarnya tidak tutup secara permanen, namun bertransformasi menjadi media mingguan dengan nama Bola Sabtu. Pernyataan penutupan Harian Bola ini dipasang di media tersebut dengan judul “Harian Bola Pamitan” di cover belakang pada edisi terakhirnya.Selain dua media cetak diatas, beberapa anak usaha Kompas Gramedia juga tercatat ada yang ditutup, seperti Majalah Fortune, Chip dan Jeep. Beberapa media cetak yang berbasis mingguan dan bulanan juga tak terhitung jumlahnya yang harus terseok-seok hingga akhirnya ditutup dalam rentang waktu 2010 hingga 2015.
Harian Jurnal Nasional atau Jurnas juga mengalami masalah tragis. Per 1 November 2014 lalu, media ini juga harus tutup usia dan berubah seutuhnya menjadi media online. Hampir sebagian besar karyawan media cetak ini diberhentikan oleh pemilik modal yang tidak sanggup lagi bertahan ditengah gempuran media online.
Di Sulawesi Selatan, juga tercatat ada dua media cetak yang harus tutup di 2015. Keduanya masih berusia sangat muda, yakni Koran Celebes dan Koran Inilah Sulsel. Harian Cakrawala juga pernah ditutup oleh pemilik modalnya karena krisis finansial hingga akhirnya terbit kembali dengan nama The New Cakrawala. Media ini pun masih harus berjuang untuk hidup.
Sejumlah media cetak harian di Sulawesi Selatan juga terus mengurangi jumlah halaman per-edisinya, bahkan ada media yang dulunya terbit nonstop setiap hari, harus mengurangi penerbitan di hari Minggu. Sekaliber Koran Tempo pun telah menghilangkan edisi minggunya, entah untuk efesiensi atau memang lagi penghematan.
Tantangan media cetak saat ini memang sangat berat. Memang beberapa pengiklan masih tetap menggunakan media cetak untuk berpromosi, namun tidak sedikit pula yang perlahan-lahan menarik diri dan mengalihkan iklannya ke media online. Selain penyebarannya yang luas, target sasaran juga bisa dipilih oleh pengiklan.
Strategi marketing media cetak juga kadang tidak terukur secara baik oleh calon pengiklan, karena data yang disampaikan kadang dimanipulasi untuk mencapai kesepakatan harga yang tinggi. Sementara media online, pengiklan bisa langsung mengecek kebenaran datanya. Sangat minim kemungkinan untuk bisa memanipulasi data.
Hal inilah yang menjadi pembeda media cetak dan media online, sehingga banyak media cetak yang tidak mampu berinovasi harus pasra tergerus perkembangan.
Salah satu negara yang paling menonjol ketimpangan medianya adalah Amerika. Media cetak di negara ini dengan massifnya dihancurkan oleh media online, bahkan The New York Times pun harus mengakui kehebatan media online. Media cetak dengan oplah terbesar inipun harus rela mengakui bahwa oplahnya saat ini tengah berkurang dengan sangat drastis.
Bahkan untuk bertahan hidup, perusahaan ini menyewakan sebagian ruang di gedung kantor pusatnya di New York guna membantu biaya operasional. Koran ini pun akhirnya harus ikut tumbuh bersama media online dengan menerbitkan berita disaluran online.
Jika The New York Times masih bertahan dengan edisi cetaknya, sejumlah media tua di Amerika sama sekali tutup secara utuh dan beralih beroperasi secara online murni, diantaranya:
1. Surat kabar Tribune CoRedaktur Pelaksana New York Times ,Jill Abramson diberitakan Tempo 16 Agustus 2013 mengatakan, pada awal Juni 2009 lalu sudah sekitar 40 koran di Amerika yang menghadapi kebangkrutan. Sebagian besar media cetak yang bangkrut karena pengiklan lebih memilih memasang iklan di media online ketimbang media cetak.
Surat kabar Tribune mengalami masalah keuangan bahkan mengajukan perlindungan pailit pada awal Desember 2008. Akibat menurunnya pemasukan iklan untuk edisi cetak, Tribune memilih untuk fokus di berita online.
2. Majalah Newsweek
Setelah 80 tahun menyebarkan berita di Amerika Serikat, Newsweek mengakhiri edisi cetaknya pada pengujung akhir tahun 2012. Pihak Newsweek memilih untuk terbit dalam format online, Newsweek Global, pada 2013. Perpindahan format disebabkan kurangnya pemasukan iklan.
3. Majalah Reader’s Digest
Perjuangan perusahaan RDA Holding selama 91 tahun untuk menyebarkan berita melalui majalah Reader’s Digest akhirnya harus berakhir pada pertengahan Februari 2013 lalu. Reader’s Digest memilih untuk melayani pembacanya melalui edisi online.
4. Rocky Mountain News
Tepat pada tanggal 27 Februari 2009, surat kabar yang berdiri pada tahun 1859 ini resmi ditutup karena berbagai sebab. Sebelumnya, pada tahun 2008, E.W. Scripps & Co, pemilik harian ini, memilih untuk menjualnya. Akan tetapi, karena tidak ada yang membeli, Scripps memilih menutupnya.
5. The Washington Post
Surat kabar terkemuka di Amerika ini mengalami nasib yang sama dengan The New York Time. Jika The New York Time mampu bertahan dengan menyewakan ruang di gedungnya, The Washington Post harus mengumumkan bahwa pihaknya telah dijual karena masalah finansial.
Data KPCB (Kleiner Perkins Caufield Byers) di 2014 lalu menunjukkan, penurunan jumlah pengiklan yang menggunakan media cetak di Amerika memang mengkhawatirkan. Sebaliknya, televisi tetap menguasai dan disusul media online yang trafiknya terus mengalami pertumbuhan.
Ini menunjukkan, media cetak memang mengalami masalah besar. Utamanya di Amerika. Tapi tidak akan terlalu lama, hal ini akan juga menerpa Indonesia. Apalagi, pemerintah Indonesia di tahun 2015 akan menerbangkan balon internet di wilayah Indonesia timur berkat kerjasamanya dengan Google. Teknologi ini akan menambah jumlah pengguna internet di Indonesia.
Jika selama ini internet hanya massif di gunakan di Pulau Jawa dan Sumatra, maka tahun depan, keberimbangan penggunaan akan terlihat jelas. Itu artinya, pangsa pasar online di Indonesia timur akan besar dan menjadi tantangan media cetak. Saat ini media cetak di Indonesia Timur masih berjaya, apalagi di Makassar.
Media cetak memang tidak akan mati, tapi tantangan kedepannya akan semakin berat. Apalagi, jumlah pembaca fanatik media cetak terus mengalami penurunan, karena dominasi usia remaja. Remaja saat ini seperti tidak mengenal lagi media cetak. Smartphone telah mengambil alih seluruh fungsi informasi.
(http://bicara.id)